Jumat, 26 Oktober 2012

Lingkungan



PENYEBAB DEGRADASI LAHAN
Degradasi lahan secara umum disebabkan oleh proses alami dan akibat aktivitas manusia. Barrow (1991) secara lebih rinci menyatakan bahwa faktor-faktor utama penyebab degradasi lahan adalah:
1)        Bahaya alami
2)        Perubahan jumlah populasi manusia
3)        Marjinalisasi tanah
4)        Kemiskinan
5)        Status kepemilikan tanah
6)        Ketidakstabilan politik dan masalah administrasi
7)        Kondisi sosial ekonomi
8)        Masalah kesehatan
9)        Praktek pertanian yang tidak tepat, dan
10)    Aktifitas pertambangan dan industri.
                   Degradasi lahan disebabkan oleh 3 (tiga) aspek, yaitu aspek fisik. kimia dan biologi. Degradasi secara fisik terdiri dari pemadatan, pengerakan, ketidakseimbangan air, terhalangnya aerasi, aliran permukaan, dan erosi. Degradasi kimiawi terdiri dari asidifikasi, pengurasan unsur hara, pencucian, ketidakseimbangan unsur hara dan keracunan, salinisasi, dan alkalinisasi. Sedangkan degradasi biologis meliputi penurunan karbon organik tanah, penurunan keanekaragaman hayati tanah, dan penurunan karbon biomas.


Dampak Degradasi Lahan

Degradasi lahan merupakan proses geomorfologi yang cenderung menurunkan permukaan bumi. Penurunan permukaan bumi dapat terjadi akibat erosi dan mass wasting. Degradasi lahan dapat dipicu oleh beberapa faktor yang bersifat alami dan aktivitas manusia. Degradasi lahan yang disebabkan oleh proses erosi dan mass wasting secara alamiah dapat disebabkan oleh curah hujan yang tinggi seperti di Indonesia yang beriklim tropis. Lerengan yang terjal dapat memicu cepatnya proses erosi sehingga tanah subur hasil pelapukan akan cepat terkelupas dan menyebabkan tanah menjadi gersang. Aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab seperti penggundulan hutan akan lebih cepat memicu proses erosi bahkan dapat menyebabkan banjir bandang yang merusak, karena air hujan yang turun tidak dapat diserap dan ditahan oleh tanah. Menurut laporan FAO tahun 1972 menyebutkan subjek-subjek degradasi lahan meliputi, erosi, salinasi dan alkalinasi, sampah organik terutama di daerah pertokoan.
Proses degradasi lahan dapat mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya proses erosi dapat menyebabkan tanah menjadi tidak subur sehingga tidak dapat ditanami. Akibatnya produksi pertanian akan menurun dan biaya produksi akan meningkat karena perlu penanganan khusus, misalnya petani harus menggunakan pupuk. Jika biaya produksi pertanian tinggi dan hasilnya menurun berimbas terhadap petani akan merugi. Dampak degradasi lahan juga dapat terjadi di lingkungan kota maupun desa. Kerusakan lingkungan yang terjadi di kota disebabkan salah satu karena besarnya arus urbanisasi. Kebiasaan penduduk membuang sampah di mana-mana menjadi kebiasaan buruk masyarakat perkotaan. Minimnya daur ulang sampah di kota mengakibatkan bermacam-macam kerusakan. Diantaranya tidak tersedianya air minum dan tempat tinggal yang bersih. Hal tersebut dapat menyebabkan terjangkitnya berbagai macam penyakit seperti kolera dan demam berdarah. Kerusakan lingkungan kota lainnya adalah terjadinya banjir dan kenaikan jumlah penduduk yang mengakibatkan meningkatnya pengangguran dan kriminalitas. Sedangkan kerusakan lingkungan di pedesaan terlihat adanya perluasan lahan pertanian dengan cara-cara yang tidak tepat, seperti penebangan hutan secara liar. Hutan mempunyai fungsi sebagai pelindung tanah. Ketika hutan berfungsi lagi maka terjadilah erosi yang sangat merugikan bagi masyarakat di sekitarnya.
Proses erosi yang tinggi akan mengakibatkan sedimentasi yang tinggi pula ditempat lain. Terakumulasinya sedimen di daerah danau atau waduk tempat lain mengakibatkan pendangkalan secara cepat sehingga dapat merusak ekositemnya disamping proses pelumpuran yang cepat. Selain itu proses pelumpuran yang cepat di daerah pantai dapat menyebabkan buruk bagi kehidupan disekitarnya, sehingga membahayakan dan terjadi kerusakan terumbu karang dan tempat ikan bertelur yang berampak buruk pula bagi kehidupan manusia.

Pengertian Degradasi Lahan

Barrow (1991) mendefinisikan degradasi lahan sebagai hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. kehilangan atau perubahan kenampakkan tersebut menyebabkan fungsinya tidak dapat diganti oleh yang lain. Degradasi lahan akan berdampak baik bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Degradasi lahan akan mengakibatkan penurunan produktivitas, migrasi, ketidakamanan pangan, bahaya bagi sumberdaya dan ekosistem dasar, serta kehilangan biodiversitas melalui perubahan habitat baik pada tingkat spesies maupun genetika. Selain itu degradasi lahan akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada lahan sebagai sumber penghidupannya berupa meningkatnya angka kemiskinan.
Degradasi lahan adalah proses penurunan proses produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap.


Dampak Kerusakan Lingkungan, Sumber Air di Klaten Tinggal 133



KLATEN - In News Online ; Kerusakan lingkungan ternyata membawa dampak nyata bagi keberadaan sumber-sumber mata air di Kabupaten Klaten. Karena, sumber mata air di wilayah Klaten terus berkurang seiring laju kerusakan lingkungan. Hal tersebut membawa keprihatinan bagi Klaten yang selama ini dikenal sebagai daerah kaya sumber air.

Pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Study Pertanian dan Informasi Lingkungan di Klaten, S Budhi Susilo kepada wartawan mengungkapkan sebelum tahun 2000 misalnya, sumber air di Klaten mencapai lebih dari 230. Namun saat ini, tinggal sekitar 133 sumber air yang efektif.

"Kondisinya memang seperti itu. Kita sudah tidak tahu lagi bagaimana nasib sumber air dalam lima tahun mendatang,’’ kata Budhi yang juga pengamat lingkungan itu.

Kondisi ini diperparah oleh menurunnya permukaan air yang ada di Klaten. Pihaknya mencontohkan sumber air Kewanen yang terletak di Bumi Perkemahan Kepurun, Manisrenggo, Klaten. Sekitar tahun 1999, di wilayah setempat sangat melimpah airnya. Namun, sekarang kondisinya sudah jauh berbeda. Saat itu (tahun 2000-red) air di sana sangat melimpah. Di sumber air tersebut, saat ini paling-paling kedalamannya tinggal dua ruas jari.

Lebih lanjut dijelaskan kondisi tersebut terjadi karena laju kerusakan lingkungan lebih cepat dibandingkan dengan tingkat reklamasi lahan. Terlebih lagi, areal yang selama ini dikenal sebagai daerah resapan air, saat ini sudah mengalami perubahan bentuk fisiknya.

"Kita lihat saja Deles, Desa Sidorejo, Kemalang, sekitar lima tahun lalu. Suasananya sangat hijau. Sekarang yang ada tinggal lahan-lahan bekas galian pasir. Di wilayah setempat, sudah tidak efektif lagi sebagai daerah resapan air," tandas Budhi, Senin (24/9).

Menurutnya, proses vegetasi di wilayah tangkapan air tidak berjalan lagi. Air hujan langsung masuk ke tanah tanpa pernah ditangkap oleh pohon-pohonan. "Air yang masuk ke tanah langsung bablas ke laut. Kalaupun ada yang ada dipermukaan, akan langsung menguap ketika kena sinar matahari, tambah dia.

Karena itu, lanjut dia, Pemkab Klaten harus cepat tanggap dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut. Pemkab, kata Budhi, mempunyai kewajiban untuk menghentikan laju kerusakan ekosistem. Kalaupun ada eksplorasi dan eksploitas terhadap kekayaan alam, harus diikuti dengan reklamasi yang efektif.

"Kalau laju ekplorasi itu sesuai dengan laju reklamasi, pasti tidak akan terjadi masalah. Sayangnya, hal ini tidak terjadi," tandas dia.

Terkait soal dampak penambangan pasir di wilayah lereng Gunung Merapi, dia mengungkapkan harus ada penanganan yang menyeluruh. Dalam artian, tidak semata-mata melakukan penertiban. Namun harus diikuti langkah nyata untuk menyelesaikan kebutuhan ekonomi masyarakat yang selama ini menggantungkan peruntungan ekonomis dari penambangan pasir.

Ribuan Usaha Pertambangan Galian C di Klaten Ilegal
Penulis : Djoko Sarjono
KLATEN--MICOM: Kerusakan lingkungan di kawasan lereng Gunung Merapi di wilayah Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, semakin parah akibat penambangan galian C yang tidak terkendali.

Usaha pertambangan galian C di daerah itu mencapai ribuan dan sebagian besar ilegal. Aktivitas pertambangan dilakukan oleh warga sekitar lereng gunung. Hanya ada tujuh yang memiliki surat izin pertambangan daerah (SIPD).

"SIPD dikeluarkan oleh provinsi. Sedangkan pemerintah kabupaten hanya merekomendasi," kata Kasubag Sumber Daya Alam Bagian Perekonomian Pemerintah Kabupaten Klaten Sarwono kepada mediaindonesia.com, Senin (25/6).

Penambang ilegal terkonsentrasi di alur Kali Woro. Jumlah mereka ribuan dan menambang secara manual. Sedangkan yang berizin beroperasi di lahan pekarangan penduduk dengan menggunakan alat berat.

Namun, tidak sedikit penambang liar juga menggunakan alat berat. Meski kerap terjaring razia tim penertiban penambangan galian C, mereka tetap saja nekad beroperasi.

Kerusakan lingkungan areal pertambangan galian C, disebabkan reklamasi yang menjadi kewajiban penambang tidak dilakukan dengan baik dan konsisten. Akibatnya, kerusakan lingkungan itu menjadi semakin parah.

Kegiatan eksploitasi galian C di Kemalang, dilakukan tanpa henti siang dan malam. Dalam 24 jam tidak kurang 2.500 truk pengangkut pasir dan batu mondar-mandir di jalan wilayah Kabupaten Klaten.
Dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya air (untuk selanjutnya nanti akan disebut dengan UU No.7 Tahun 2004) juga sudah ditegaskan bahwa pada hakekatnya air tersebut mempunyaI fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan.
a. Fungsi sosial yang dimaksud dalam UU No.7 tahun 2004 ini adalah pemanfaatan sumber daya air untuk kepentingan umum (minum, memasak, mencuci, mandi, dan pertanian);
b. fungsi lingkungan adalahpemanfaatan sumber daya air menjadi bagian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat kelangsungan flora dan fauna;
c. fungsi ekonomi adalah pemanfaatan sumber daya air untuk menunjang kegiatan usaha (pasal 4 dan penjelasannya).
1. Wawasan Pengembangan Sumber Daya Air
Pengembangan sumber daya air adalah merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengelolaan, pengendalian dan pelestariannya.
Wawasan pengembangan sumber daya air adalah cara pandang atau cara memahami daripada upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu melalui kegiatan pengelolaan, pengendalian, dan pelestariannya.
Peningkatan kebutuhan akan air telah menimbulkan eksploitasi sumber daya air secara berlebihan sehingga mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan sumber daya air yang pada gilirannya menurunkan kemampuan pasokan air. Gejala degradasi fungsi lingkungan sumber daya air ditandai dengan fluktuasi debit air di musim hujan dan kemarau yang semakin tajam, pencemaran air, berkurangnya kapasitas waduk dan lainnya.
Disamping tantangan fisik tersebut, pengelolaan sumber daya air juga mengalami tantangan dalam penanganannya seperti tidak tercukupinya dana operasi dan pemeliharaan, lemahnya kordinasi antar instansi terkait dan masih kurangnya akuntabilitas, transparansi serta partisipasi para pihak (stakeholders) yang mencerminkan good governance dalam pengelolaan sumber daya air.
Sementara itu seiring dengan semangat reformasi disektor publik seperti good governance, akuntabilitas publik, otonomi daerah dan pemberdayaan keuangan daerah sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP – TAP MPR dan UU no.32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU no. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pada awal milenium ketiga ini telah terjadi pula pergeseran paradigma pengelolaan sumber daya air, yang dulunya pengelolaan secara sektoral berubah menjadi pengelolaan secara holistik, komprehensif dan terpadu.
Pengelolaan kebutuhan atau alokasi air tidak saja untuk pertanian, domestik, perkotaan, industri dan kebutuhan lainnya tetapi air juga sebagai komoditas ekonomi yang memiliki fungsi sosial yang berwawasan lingkungan. Pengembangan organisasi pengelola air diharapkan dapat menuju ke desentralisasi dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pembiayaan sumber daya air.
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR
1. Permasalahan Dalam pengelolaan Sumber Daya Air
Permasalahan umum dalam pengelolaan sumber daya air pada dasarnya terdiri atas 3 aspek yaitu terlalu banyak air, kekurangan air dan pencemaran air. Banjir sering terjadi di banyak daerah di Indonesia antara lain di kota besar seperti Jakarta, Medan, Semarang maupun di pedesaan dengan kerugian yang dialami mencapai milyaran bahkan sampai trilyunan rupiah. Untuk mengatasi bahaya banjir dan kerugian yang diakibatkannya terdapat upaya struktural dan non struktural. Upaya struktural meliputi normalisasi sungai, pembuatan tanggul, sudetan, waduk pengendali banjir, daerah retensi banjir dan perbaikan lahan (reboisasi, terassering); sedangkan upaya non struktural adalah zonasi banjir, pengaturan pada dataran banjir, peramalan banjir dan peringatan dini, dan pemasangan peil banjir.
Potensi air permukaan yang dimiliki oleh Indonesia diperkirakan sebesar 1.789.000 juta m3/tahun yang berasal dari seluruh pulau – pulau di indonesia seperti Papua sekitar 401.000 juta m3/tahun, Kalimantan 557.000 juta m3/tahun, dan Jawa 118.000 juta m3/tahun (Direktorat Jenderal Pengairan, 1995). Hal ini belum termasuk potensi sumber air tanah yang jumlahnya tidak sedikit. Secara umum alokasi kebutuhan air dikelompokkan dalam 3 kategori kebutuhan, yaitu kebutuhan air domestik, pertanian dan industri. Ketersediaan air untuk Pulau jawa dan Bali sudah berada dalam kondisi kritis. Kondisi ini sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan memicu kerusakan lingkungan air. Konflik antar Kabupaten dan antar penduduk dengan pengusaha berkaitan dengan keterbatasan volume air mulai mencuat kepermukaan akhir – akhir ini.
Terjadinya pencemaran air disebabkan oleh tingginya beban pencemaran yang masuk ke dalam sumber air. Berdasarkan data yang tercatat, pada tahun 2015, beban pencemaran meningkat, apabila tidak dilakukan upaya pengendalian pencemaran yang memadai (PUSAIR, 1990).
Sampai saat ini air tanah masih merupakan sumber air minum yang sangat penting bagi penduduk Indonesia baik di perkotaan maupun di perdesaan. Hanya 28% (37 juta jiwa) dari total penduduk yang dapat dilayani PDAM yaitu 26.7 juta penduduk perkotaan dan 10.3 juta penduduk pedesaan, sedangkan sisanya sebagian besar menggunakan air sumur (PERPAMSI, 2000).
Terbatasnya sarana pengolahan limbah penduduk (domestik) serta tingginya penggunaan tangki septik pada daerah permukiman, telah mencemari air tanah dangkal.
2. Kondisi Daerah Pengaliran Sungai
Dalam kerangka kegiatan penyusunan kebijakan pendayagunaan sumber daya air dan konservasi daerah aliran sungai telah disusun prioritas satu sampai tiga daerah aliran sungai kritis untuk masuk dalam program konservasi. Penyusunan prioritas didasarkan pada nilai indeks pemanfaatan air, koefisien variasi ketersediaan air yang menggambarkan ketersediaan air sebagai fungsi waktu. Perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali mengakibatkan kerusakan daerah aliran sungai yang teridentifikasi dari semakin besarnya perbandingan antara debit maksimum dan debit minimum.
3. Kerusakan Lingkungan Morfologi Sungai
Hasil identifikasi lapangan menunjukkan bahwa 90% morfologi ruas sungai yang mengalir disekitar sentra-sentra pengembangan wilayah di Pulau Jawa dan Sumatera berada dalam kondisi rusak amat sangat berat. Penyebab utama kerusakan morfologi sungai adalah kegiatan penambangan material dasar sungai yang tidak terkendali.
PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR
Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan dan pengusahaan sumber daya air secara optimal, berhasil guna dan berdaya guna. Upaya ini ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil.
Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat membayar jasa pelayanan pengelolaan sumber daya air dan melibatkan peran serta masyarakat.
1. Penatagunaan Sumber Daya Air.
Penatagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air .Zona ini digunakan sebagi acuan untuk : penyusunan atau peeubahan RTRW atau perubahan RTRW, rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan. Penetapan zona pemanfaatan sumber daya air dilakukan dengan :
a. Mengalokasikan zona untuk fuungsi lindung dan budi daya;
b. Menggunakan dasar hasil penelitian dan pengukuran secara teknis hidrologis;
c. Memperhatikan ruang sumber air yang dibatasi oleh garis sempadan sumber air;
d. Memperhatikan kepentingan bebagai jenis pemanfaatan;
e. Melibatkan peran masyarakat sekitar dan pihak lain yang berkepentingan; dan
f. Memperhatikan fungsi kawasan.
Penetapan peruntukan air pada sumber air pada setiap wilayah sungai dilakukan dengan memperhatikan :
a. Daya dukung sumber air;
b. Jumlah dan penyebaran penduduk serta proyeksi pertumbuhannya;
c. Perhitungan dan proyeksi kebutuhan sumber daya air;
Pemanfaatan air yang sudah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar